Bertepuk Sebelah Tangan
Suara sunyi malam mulai datang suara angin mengalun berhembus, lampu seperti semakin temaram walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja Nina sudah merasa sangat terkantuk, kelopak matanya ingin mengatup, dan matanya tak kuasa menahan beban kelelahannya. Terkadang kantuk itu menguat membuatnya hanyut sebentar namun tidak lama ia tersadar dan meneruskan kegiatannya. Sudah tiga jam dia mengerjakan tugas rumahnya, tugas Fisika. Mata pelajaran paling tajam dari pada matematika, dengan rumus-rumus rumit berselang-seling. Ditambah dengan guru pengajarnya yang galak dan tegas pada setiap murid yang tidak mengerjakan tugasnya, ia akan memberikan hukuman seperti dikeluarkan selama pelajaran atau mengerjakan soal di papan tulis sampai bisa dan dilarang melihat rumus.
Pelajaran SMA paling menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu
membalikkan referensi buku yang ia pinjam dari perpustakaan tadi siang.
Sebenarnya ia jarang meminjam buku disana hanya saja ada sebuah alasan.
Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya memasuki perpustakaan
saat ia dan Putri baru saja membeli jajanan di kantin. Terpikir olehnya
bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar mungkin bisa mengobati
hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak putri memasuki
perpustakaan dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan
mendahuluinya sedangkan ia mencari dimana Hafid berada, ia menyusuri
jajaran buku, tangannya menyentuh deretan buku tapi matanya berkeliaran
mencari Hafid. Nina bahkan melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk
di bangku memilih-milih buku untuk dibacanya.
Akhirnya terlihat olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya,
tercium olehnya buku-buku usang yang sudah berwarna kuning dimakan
waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang berbungkuk mencari buku-buku dalam
sebuah kardus-kardus yang tersusun, sepertinya buku-buku dalam kardus
itu sudah akan dibuang karena sudah uzur. Terdengar olehnya suara kardus
yang tersetuh lengan Hafid dan suara buku yang disimpannya kembali
kedalam.
“Sedang apa kak?” Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi nyari buku. Kata Bapak perpus buku yang kakak cari ada disini. Di tumpukan buku usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang dengan robekkan dan coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?” Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“e..e.. ia lagi nyari novel Kak,”
“suka novel ya? Pernah baca karya NH.Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh, novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid pergi setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
“Sedang apa kak?” Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi nyari buku. Kata Bapak perpus buku yang kakak cari ada disini. Di tumpukan buku usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang dengan robekkan dan coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?” Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“e..e.. ia lagi nyari novel Kak,”
“suka novel ya? Pernah baca karya NH.Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh, novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid pergi setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
Walau hanya sekejap pertemuan tadi siang dengan Hafid, ia sudah
sangat senang. Entah perasaan apa itu? ia sedang jatuh cinta. Cinta yang
entah keberapa kalinya ia sekarang sedang menjomblo, namun kali ini
berbeda Nina menutup diri dan memendamnya. Tidak ada yang tahu bahwa ia
mencintai seorang ketua OSIS, bukan karena ia malu. Namun ia hanya ingin
membuat Hafid terkesan dan akhirnya jatuh cinta padanya. Cintanya kali
ini berbeda, sungguh hanya ia yang tahu. Namun cinta ini memiliki
kesamaan dengan cinta sebelumnya, ia tidak bisa tidur kerena
memikirkannya, ia selalu melamun memikirkannya dan bahkan akhir-akhir
ini ia menjadi rajin akibat motif cintanya kepada Hafid, itu pengaruh
jatuh cinta yang bagus. Terang saja Nina merasa sangat bergairah saat
belajar akhir-akhir ini, ia merasa malu jika ia mendapatkan nilai jelek.
Hatinya selalu mengira-ngira bagaimana kalau Hafid tau bahwa dirinya
payah dalam hal prestasi di kelas, saat itulah timbul semangat dalam
dirinya.
Hafid adalah seorang laki-laki yang sopan dan terlihat cerdas apalagi
saat ia berbicara, tidak salah dia terpilih menjadi ketua OSIS. Ia
seorang lelaki yang mudah bergaul dan tidak pilih-pilih dalam berteman.
Perawakannya tinggi dan kurus, dengan senyum yang selalu mewarnai
wajahnya.
Jam dinding tua di ruangan tengah berbunyi dua belas kali, namun
matanya kini sudah bisa beradaptasi dengan suasana ditambah secangkir
moccacino yang ia buat sendiri. Namun ia sadar ia harus tidur. Nina
mampu terjaga setelah dalam hatinya teringat Hafid, ‘mungkin ia juga
sedang belajar’ pikirnya. Tugas Fisika itu sudah hampir selesai, ia
sibuk menghapus, menulis, mengotret dengan banyak sisa-sisa kotoran
penghapus yang sudah menyebar di buku catatannya. Ia menulis jawaban
terakhirnya, merapihkan peralatan tulis dan buku catatannya lalu
memasukannya ke tas. Nina mengambil cangkir Moccacino-nya dan meneguk
minuman Mocca terakhirnya, ia beranjak menuju kamar mandi dan menggosok
giginya. Lalu pergi ke tempat tidur mengistirahatkan diri sambil
mengucap doa.
Pagi terasa lain hari ini, entah apa yang akan terjadi. Sesuatu
seperti mengganggu hatinya namun apakah itu? ia bertanya-tanya dalam
hati. Nina berusaha menghilangkan perasaan itu dan cepat menyibukkan
dirinya dengan berangkat ke sekolah. Pagi itu cerah, matahari bahkan
menerangi bumi sangat awal, kehangatannya menemani angin pagi yang masih
berhembus. Nina berjalan menyusuri jalan gang, baru saja ia turun dari
angkot hijau. Biasanya ia melewati gang untuk sampai ke sekolah walau
ada jalan lain yaitu jalan raya utama, kau tahu juga alasannya karena
Hafid. Ia selalu melewati gang ini. Beberapa kali Nina beruntung bisa
berjalan bersama atau bahkan hanya saling sapa, ada kepuasan tersendiri
dalam hatinya. Namun pagi ini berbeda, Hafid tidak tampak melewati gang.
Sesampainya di kelas ia duduk di depan, sahabat dan sekaligus teman
sebangkunya sudah terlihat dengan beberapa alat tulis dan catatan di
mejanya. Suasana kelas sudah tampak gaduh, Nina baru sadar karena hari
ini ada tugas Fisika. Biasanya ia juga sama dengan teman-teman yang
lain, mondar-mandir sebelum jam masuk mencari teman yang sudah
menyelesaikan tugas lalu menyontek jawaban teman yang baik dan malang.
Namun kali ini ia tidak melakukannya, ia sudah berusaha keras sampai
tengah malam untuk mengerjakannya.
“Tugas Fisikanya sudah selesai?” Putri bertanya dengan wajah sayu seperti kelelahan.
“Sudah, aku berusaha keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang ditulisnya mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri kali ini kesulitan mengerjakan tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan alat-alat tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid terlihat rapi dan sikap taat yang dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.
“Sudah, aku berusaha keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang ditulisnya mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri kali ini kesulitan mengerjakan tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan alat-alat tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid terlihat rapi dan sikap taat yang dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.
Dentam bel berbunyi, menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda
waktu istirahat para murid. Siswa-siswi disibukkan dengan kesibukkan
masing-masing, makan, mengobrol, membaca, mengerjakan tugas dan
lain-lain. Nina dan putri berjalan menuju kantin, mereka berencana
membeli beberapa gorengan Bu Entin yang juga istri penjaga sekolah.
Itulah kebiasaan mereka selalu bersama-sama kemanapun, seperti tidak
pernah terpisahkan. Sejak kelas satu mereka selalu bersama, bahkan
sampai sekarang mereka kelas dua selalu saja duduk sebangku. Nina sudah
menganggap Putri seperti saudaranya sendiri, dimana ada Nina pasti
disana ada Putri, jika tidak mungkin mereka sedang bertengkar itulah
yang dikatakan teman-teman mereka. Putri lebih dari sahabat baginya,
selalu menemani disaat suka dan duka, bersedia mendengarkan
cerita-ceritanya tentang keluarga ataupun tentang pacar-pacarnya. Putri
adalah perempuan yang menarik menurut Nina, ia tertutup dalam mesalah
cinta ia bahkan tidak percaya dengan pengakuan Putri bahwa ia belum
memiliki pacar sampai sekarang. Wajahnya cukup cantik dengan tubuh
mungil, rambut panjangnya terlihat sering di ikatnya katanya agar tidak
menganggu saat sedang belajar. Putri orangnya susah untuk ditebak, ia
pendiam tapi bersikap tegas dalam mengambil keputusan, Putri juga
terlihat sering membela dirinya dan membantunya dalam mengerjakan tugas
yang dianggapnya sulit.
Mereka duduk di depan Perpustakaan sambil memakan jajanan gorengan,
Nina dan Putri saling berpandangan dan mengobrol kadang tiba-tiba mereka
tertawa bersama mengingat pelajaran fisika tadi, ada kejadian menarik.
Bu Mira tiba-tiba mengatakan akan mengadakan ulangan, tadi. Sontak
siswa-siswi protes dan tidak setuju dengan keputusan Guru Fisika itu.
Namun bukan Bu Mira namanya kalau tidak menuai kontroversinya dalam hal
mengajar yang terbilang ekstrem, Ibu bilang ‘Ibu sudah pernah berkata
pada kalian, untuk belajar bukan karena hanya ada perkerjaan rumah saja,
tapi setiap hari karena saya akan selalu mengadakan ulangan secara
mendadak’. Dengan terpaksa siswa-siswi yang terlihat pasrah mengeluarkan
kertas selembar yang di perintahkan Bu berparas cantik namun terlihat
sangar jika marah, sementara Bu Mira sudah menulis soal-soalnya di papan
tulis. Tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu, ternyata seorang guru
piket yang menyampaikan ada rapat di ruangan guru, semua guru harus
hadir saat itu juga. Bu Mira berhenti menulis soal di papan tulis, ia
lansung mengambil alih pembicaraan dan berkata bahwa ulangan diundur
disaat siswa-siswi sudah berteriak riuh karena lega untuk sementara
mereka selamat. Bu Mira lalu pergi membawa tas dan peralatannya yang
menandakan bahwa rapat akan menghabiskan semua jam pelajarannya di kelas
8C.
Di tengah obrolan yang masih mengarah pada pelajaran Fisika, Hafid
dan seorang temannya melintas di hadapan Nina. Hafid dan temannya
melihat dan menyapa ke arah Nina, Nina langsung semangat menyapa Ketua
OSIS pujaannya. Sementara Putri terlihat malu-malu saat Hafid lewat, ia
menunjukkan sikap tidak seperti biasa. Nina bertanya-tanya melihat sikap
sahabatnya itu, ‘apa mungkin Putri juga menyimpan rasa pada Hafid?’
namun pikiran itu ditangkisnya, sahabatnya itu terlalu pemalu untuk suka
pada seseorang pikirnya. Nina juga yakin Putri mengerti bahwa ia
menyukai Hafid walau Nina tidak pernah menceritakan perasaannya itu.
Baginya mungkin perilakunya pada Hafid mungkin cukup untuk membuat Putri
paham kalau ia menyimpan rasa padanya.
Bel tanda masuk berbunyi, Nina dan Putri berjalan menuju kelas
mereka. Kelas sudah penuh sesak, teman-teman mereka riuh bercampur ribut
seperti kebiasaan istirahat. Tiba-tiba Ketua kelas Nina berdiri di
depan kelas, ia meninggikan suaranya bersiap mengeluarkan teriakannya
untuk menghentikan kebisingan kelas.
“Mohon perhatiannya..” Kata Johar dengan nada bijaksana yang
sepertinya ia buat sebulat mungkin. Seisi kelas langsung menghentikan
kesibukkan mereka, suasana kelas menjadi hening. Mereka sudah siap
menerima informasi yang akan disampaikan Sang ketua kelas.
“Hari ini, kalian di bubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan jangan ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan segera pulang. Teman-teman yang lain juga begitu, mereka senang karena dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan kelas sementara yang lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang. Nina mengambil cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada kotoran menempel pada wajahnya. Sementara Putri hanya berdiam diri memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya mereka pulang menuju gerbang sekolah.
“Hari ini, kalian di bubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan jangan ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan segera pulang. Teman-teman yang lain juga begitu, mereka senang karena dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan kelas sementara yang lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang. Nina mengambil cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada kotoran menempel pada wajahnya. Sementara Putri hanya berdiam diri memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya mereka pulang menuju gerbang sekolah.
Putri menggeser kursinya lebih dekat dengan posisi Nina yang masih asyik bercermin.
“Nin aku mau cerita, boleh?”
“Boleh” Nina mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah putri.
“Tapi ini rahasia” Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak dalam kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu mengangguk meyakinkan sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun padanya. Nina menduga-duga, kira-kira rahasia apakah yang akan Putri ceritakan padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-rahasiaan biasanya ia yang selalu seperti itu.
“ini tentang Hafid” jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut sahabatnya yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia tertarik dengan ucapan Putri.
“Dia nembak aku tadi malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin malu memperlihatkan wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak karuan, ia berusaha mengatur napasnya, hatinya seperti sakit tertekan entah oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa. Apa yang terucap dari mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya terasa amat perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar Putri tidak memperhatikannya. Ia tahu Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini padanya, Nina sudah pernah mendesaknya agar ia mempunyai pacar. Dan kini ada seseorang yang mengatakan cinta padanya, seharusnya sebagai sahabat ia harus ikut senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang yang dicintainya yang menembak sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siapa menerimanya.
“Nin aku mau cerita, boleh?”
“Boleh” Nina mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah putri.
“Tapi ini rahasia” Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak dalam kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu mengangguk meyakinkan sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun padanya. Nina menduga-duga, kira-kira rahasia apakah yang akan Putri ceritakan padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-rahasiaan biasanya ia yang selalu seperti itu.
“ini tentang Hafid” jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut sahabatnya yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia tertarik dengan ucapan Putri.
“Dia nembak aku tadi malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin malu memperlihatkan wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak karuan, ia berusaha mengatur napasnya, hatinya seperti sakit tertekan entah oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa. Apa yang terucap dari mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya terasa amat perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar Putri tidak memperhatikannya. Ia tahu Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini padanya, Nina sudah pernah mendesaknya agar ia mempunyai pacar. Dan kini ada seseorang yang mengatakan cinta padanya, seharusnya sebagai sahabat ia harus ikut senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang yang dicintainya yang menembak sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siapa menerimanya.
Ia mencoba
menabahkan hatinya terlihat Putri masih menyembunyikan wajahnya menunduk
lalu tersenyum-senyum tanda bahagia di hatinya.
“Lalu bagaimana jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat meganjal dadanya.
“Aku ingin minta pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia menahan air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai tidak beraturan, mengapa begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali ini Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya, soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak dapat terbendung lagi. Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana mungkin di tengah kebahagian sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma untuk mengatakan itu, buktinya Hafid sebenaranya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah Putri masi berseri-seri karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk pulang duluan.
“Aku akan cerita besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh sebentar dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.
“Lalu bagaimana jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat meganjal dadanya.
“Aku ingin minta pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia menahan air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai tidak beraturan, mengapa begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali ini Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya, soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak dapat terbendung lagi. Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana mungkin di tengah kebahagian sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma untuk mengatakan itu, buktinya Hafid sebenaranya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah Putri masi berseri-seri karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk pulang duluan.
“Aku akan cerita besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh sebentar dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.
Nina bingung harus kemana ia pergi, tidak mungkin baginya menangis
sepanjang perjalanan pulang menggunakan angkot. Ia berjalan menuju
toilet menggantung tas selendangnya dan mengambil sapu tangannya, ia
menghapus air matanya walau terasa sia-sia, air mata yang sempat
tertahan tadi mengalir deras, rasa perih itu makin nyata. Ia rasa
lututnya lemas, beban di dadanya semakin berat saja, sebegitu
besarnyakah rasa cintanya pada Hafid sehingga seperti ini rasanya. Nina
sadar bahwa cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Ia berusaha
menghibur dirinya sendiri, bahwa dirinya patut senang karena kebahagian
sahabatanya. Ia juga harus yakin bahwa Putri adalah yang terbaik bagi
Hafid, ia cantik, baik dan pintar sementara dirinya terkenal di kelas
sebagai anak yang sering mengganti-ganti pacarnya terlebih selama ini
Nina belum menunjukkan prestasinya di kelas. Sedangkan Putri adalah
seorang siswi pandai yang tidak pernah absen masuk lima besar di kelas.
Nina menyadari kesalahan-kesalahannya ia terlalu banyak berbuat
sewenang-wenang pada adik kelas, dan merasa paling senior. Ia merasa
beruntung memiliki sahabat seperti Putri yang bisa membatasi
pergaulannya walau terkadang ia sering mengabaikannya untuk berkumpul
dengan anak-anak yang terkenal kerena kecantikannya dan exisnya di
sekolah. ‘Putri adalah seorang yang terbaik untuk Hafid, seharusnya aku
bahagia’ pikirnya. Ia menghapus air matanya yang mengering dengan tisu
basah dari tasnya. Hatinya sudah membaik sekarang. Rasa perih itu mulai
berkurang, hatinya mulai bisa menerima. Ia membasahi kedua matanya yang
terlihat bengkak karena menangis, lalu mengusapnya dengan saputangan, ia
lalu keluar dari toilet. Sebelumnya ia melihat-lihat barang kali ada
orang yang akan melihatnya bila ia keluar. Tapi ternyata seisi sekolah
sudah sepi, yang terdengar hanya suara kepala sekolah yang sedang
memimpin rapat di ruang guru, Nina keluar dengan mata yang terlihat
merah dan bengkak.
Ia berjalan menyusuri kelas di lorong menuju Perpustakaan, ia
teringat lagi oleh Hafid lalu ia buang pikiran itu jauh-jauh. Ia masuk
ke Perpustakaan untuk mengembalikan buku referensi Fisika yang ia pinjam
kemarin saat ada Hafid, dan tentunnya sebelum kejadian ini.
Ia mengisi daftar pengunjung, Bapa penjaga Perpus yang rambutnya
sudah dipenuhi uban itu memandangnya aneh karena Nina terlihat
berantakan dengan mata seperti kemasukan air, bengkak. Untung Bapa
Perpus tidak bertanya apa-apa, Nina lalu duduk di bangku Perpus. Ia
memutuskan mengistirahatkan dirinya sebentar sebelum pulang. Teringat
olehnya bahwa Putri akan bercerita tentang Hafid saat ia menjawab
cintanya besok, ia harus siap dan melupakan Hafid. Ia juga sadar bahwa
ia harus mengubah sifatnya mulai sekarang, ia bertekat untuk fokus
belajar untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sadar bahwa selama
ini banyak membuat orang tuanya sedih karena ia sering membuat ulah di
sekolah, bertengkar dengan adik kelas ataupun karena nilainya yang
kurang dari ketuntasan beberapa mata pelajaran. Di meja tempat ia duduk
terlihat sebuah buku novel yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya,
ia lalu mengambilnya, di cover novel tersebut tertulis, ‘Padang ilalang
di belakang rumah karya NH.Dini’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar